Kepatuhan Pajak: Apakah Harus Mengedepankan Sanksi?





Apa yang Anda rasakan apabila setiap pekerjaan yang Anda lakukan hanyalah semata-mata untuk menghindari hukuman? Pasti tidak enak bukan? Sekarang dengan mengubah perspektif, bagaimana jika Anda memahami bahwa pekerjaan yang Anda lakukan benar-benar memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan Anda? Apakah Anda merasa jauh lebih bersemangat dan menikmati pekerjaan tersebut? Begitupula dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP), perspektif WP menjadi kunci utama (primary key).


Statistik menunjukkan tingkat kepatuhan WP di Indonesia memang masih sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Di tahun 2015 dari total 18.159.840 WP terdaftar yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), hanya sebesar 60,27% yang menyampaikan SPT dengan rincian WP Badan sebesar 57,09%, WP Orang Pribadi (OP) sebesar 40,74%, dan WP Karyawan sebesar 63,22%. Sementara itu, angka tax ratio juga hanya mampu menyentuh angka 11%, jauh dibandingkan dengan Filipina sebesar 12%, Malaysia sebesar 16%, serta Singapura yang bahkan mencapai angka 22%.

Upaya-upaya dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua: pemberian edukasi dan pemberian sanksi. Edukasi berarti memberikan pemahaman kepada WP tentang seluk beluk dan arti penting serta manfaat besar pajak bagi bangsa dan negara, sedangkan pemberian sanksi lebih mengedepankan aspek punishment kepada WP agar memenuhi hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan yang berlaku. Langkah mana yang dianggap paling penting dan berhasil dalam meningkatkan kepatuhan WP masih menjadi perdebatan banyak ahli hingga saat ini.

Sebagian besar yang berpendapat bahwa pemberian sanksi merupakan aspek penting dalam meningkatkan kepatuhan WP beralasan bahwa sanksi tidak dapat terlepas dari karakteristik penduduk Indonesia yang bandel. Fase-fase penjajahan selama lebih dari 3,5 abad dianggap sebagai penyebab utama dalam membentuk pola pikir antara lain seperti peraturan dibuat untuk dilanggar dan baru akan patuh ketika hukum benar-benar telah ditegakkan. Terlepas dari benar atau tidaknya, kita juga harus menyadari bahwa terdapat threats lain di luar WP seperti aturan perpajakan yang rumit, akses data yang minim, dan jumlah SDM yang terbatas.

Selain itu, apabila ditelaah lebih dalam, pola yang mengedepankan pengenaan sanksi justru mengingkari semangat reformasi perpajakan yang telah didengungkan dari tahun 1984. Dalam prinsip self assessment system, aspek edukasi seharusnya menjadi prioritas dan fokus utama. Masyarakat yang sadar tentang betapa besar manfaat dari pajak yang mereka bayarkan akan jauh lebih patuh baik secara formal maupun material dibandingkan dengan mereka yang terus menerus dihadapkan dengan sanksi dan hukuman. Alm, McClelland, dan Schulze (1991) menyatakan bahwa kepatuhan terjadi karena individu menilai penyediaan barang publik dari pajak yang mereka bayarkan, dan mereka akan tetap membayar pajak untuk memperoleh itu meskipun tidak ada sanksi atas ketidakpatuhan. Meskipun demikian, sanksi tetap diperlukan sebagai secondary effort guna menjamin bahwa keadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya 

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepatuhan WP sudah sepatutnya perspektif WP dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan diubah dengan memberikan edukasi semaksimal mungkin. Seperti semboyan “Orang Bijak Taat Pajak”, dan ketaatan muncul dari kesadaran bukan dari hukuman. 

Referensi:

Alm, James, McClelland, Gary H., dan Schulze, William D. 1991. “Why do People Pay Taxes?”. Journal of Public Economics 48 (1992) 21-38. North-Holland.

Dirjen Pajak: Tax Ratio Indonesia Masih Rendah. http://kemenkeu.go.id/Berita/dirjen-pajak-tax-ratio-indonesia-masih-rendah diakses 29 Maret 2016.

Refleksi Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak. http://www.pajak.go.id/conent/article/refleksi-tingkat-kepatuhan-wajib-pajak diakses 29 Maret 2016.



Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Kepatuhan Pajak: Apakah Harus Mengedepankan Sanksi?