Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Insentif Thin Capitalization Rule Kawasan


Per 31 Desember 2015 kemarin, hubungan antar negara di Asia Tenggara memasuki babak baru dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pemberlakuan MEA memiliki arti penting karena akan mengubah ASEAN menjadi satu basis produksi dan pasar tunggal dengan pergerakan bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan arus modal di antara kawasan dengan populasi lebih dari 600 juta penduduk. Dengan kata lain, tidak akan ada lagi sekat-sekat yang menjadi jurang pemisah antar negara ASEAN yang satu dengan yang lain.

Kebijakan pembebasan lima pilar ekonomi di dalam MEA memberikan konsekuensi dalam aturan perpajakan seperti yang tercantum dalam Blueprint MEA. Hal ini menginisiasi didirikannya ASEAN Tax Forum untuk mewujudkan sistem perpajakan yang selaras antar negara ASEAN sehingga ASEAN sebagai satu komunitas ekonomi dapat menjadi kawasan yang mampu bersaing dengan kawasan ekonomi yang lain. Salah satu yang menjadi perhatian adalah aliran arus modal antar negara dan aspek perpajakannya.

Sistem perpajakan pada umumnya memberi perlakuan berbeda antara return dari pembiayaan melalui utang (bunga) dan modal (dividen) yang kemudian menciptakan efek distorsi dalam keputusan pembiayaan atau sering disebut debt bias. Pembiayaan melalui utang menjadi lebih disukai karena dapat mengurangi beban pajak dan menghasilkan cost of capital yang rendah sehingga memberikan peluang bagi perusahaan multinasional untuk memindahkan laba (profit shifting) dari wilayah dengan tarif pajak tinggi ke wilayah bertarif pajak rendah melalui mekanisme utang internal. Pada akhirnya, debt bias akan mengakibatkan penggerusan penghasilan kena pajak yang berimplikasi pada menurunnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan.

Sebagai bentuk respon atas praktik tersebut, OECD dalam 15 Rencana Aksi atas Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) salah satunya memberikan arahan dalam pembatasan pembebanan biaya bunga yang lebih dikenal dengan istilah Thin Capitalization Rule. Dalam bentuknya, thin capitalization rule dapat didesain dengan menggunakan pendekatan rasio (ratio) atau pendekatan nilai wajar (arm’s length). Pendekatan mana yang akan dipilih merupakan diskresi pemerintah setelah mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan dan disesuaikan dengan karakteristik negara bersangkutan.

Di Indonesia sendiri, penerapan thin capitalization rule baru terealisasi pada September 2015 lalu setelah dirilisnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Perbandingan Utang dan Modal Perusahaan untuk Perhitungan Pajak Penghasilan. Peraturan ini menggunakan pendekatan rasio dimana besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1 dengan memberikan pengecualian bagi perusahaan di sektor perbankan, pembiayaan, asuransi, pertambangan, dan infrastruktur.

Sejauh pengetahuan penulis, belum ada bukti empiris yang menunjukkan efektifitas penerapan peraturan tersebut dikarenakan umurnya yang masih tergolong baru. Namun, hasil penelitian sebelumnya dengan objek penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa thin capitalization rule efektif dalam mengurangi tax planning melalui mekanisme pengurangan utang internal. Namun di sisi lain, arus masuk investasi juga akan mengalami penurunan. Hal ini dapat dipahami karena thin capitalization rule secara tidak langsung membatasi pilihan sumber pembiayaan perusahaan dan mendorong perusahaan berinvestasi ke wilayah yang memberikan keleluasaan dalam perpajakan. 

Dengan menggunakan hasil penelitian tersebut dan faktor lain diasumsikan tetap (ceteris paribus), kita dapat menyusun hipotesis bahwa penerapan thin capitalization rule di Indonesia akan mengurangi skema penghindaran pajak melalui utang internal dan di sisi lain juga mengurangi arus investasi masuk ke Indonesia. Hal ini juga didukung oleh data dan fakta bahwa negara-negara di ASEAN berkompetisi (tax competition) melalui implementasi thin capitalization rule dan tarif pajak yang berbeda.

Dari sepuluh negara yang tergabung dalam ASEAN, terdapat tiga negara yang sama sekali tidak menerapkan thin capitalization rule yaitu Brunei, Laos, dan Singapura. Sementara tujuh negara lainnya memiliki thin capitalization rule meskipun sebagian besar tidak tegas dan ketat dalam tataran implementasinya, seperti misalnya Malaysia yang memiliki thin capitalization rule namun implementasinya ditangguhkan.

Selain thin capitalization rule yang berbeda, terdapat perbedaan pula dalam tarif pajak perusahaan di antara negara-negara ASEAN. Sebagian besar tarif pajak perusahaan di ASEAN ditetapkan sebesar 20 dan 25 persen. Namun disparitas tetap terjadi dimana tarif tertinggi adalah sebesar 35% di Myanmar sementara Singapura menetapkan tarif pajak terendah sebesar 17%

Perbedaan penerapan thin capitalization rule dan besarnya tarif pajak antar negara serta perekonomian yang terintegrasi dalam MEA dapat memperlebar jurang penurunan arus masuk investasi masuk sebagai akibat penerapan thin capitalization rule. Hal ini dikarenakan dalam MEA arus modal dapat dengan mudah dan cepat berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai keinginan pemilik modal. Umumnya para pemilik modal cenderung memilih wilayah yang menyediakan fasilitas dan keleluasan berinvestasi, yaitu wilayah tanpa thin capitalization rule dan memiliki tarif pajak rendah.

Berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya penerapan thin capitalization rule dalam konteks MEA harus menjadi perhatian semua pihak. Lebih dari itu, perlu dikembangkan suatu alternatif guna meminimalisasi ekses-ekses negatif yang mungkin terjadi sebagai implikasi dari penerapan thin capitalization rule secara parsial sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Salah satu solusi terbaik yang dapat dipertimbangkan adalah mengembangkan thin capitalization rule yang terkoordinasi dalam satu lingkup MEA. Dalam konteks ini, aturan terkait pembatasan beban bunga diatur dan diterapkan bersama-sama oleh negara di dalam kawasan. Koordinasi yang ketat atas thin capitalization rule akan memberi keuntungan bagi seluruh pihak di dalam kawasan, meskipun dapat mendorong negara-negara berkompetisi lebih agresif dalam hal tarif pajak.

Selain itu, manfaat yang jauh lebih penting yang dapat diperoleh dari penerapan thin capitalization rule yang terkoordinasi adalah tumbuhnya semangat persatuan dan kesatuan dari masing-masing anggota MEA. Dengan menyerahkan kewenangan untuk mengatur thin capitalization rule kepada sistem musyawarah dalam kawasan, mau tidak mau ego pribadi masing-masing anggota dikesampingkan demi kepentingan yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan semangat MEA yang tidak hanya sekadar mengintegrasikan perekonomian dalam satu kesatuan, tetapi juga tentang bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh anggota tanpa terkecuali. 

Referensi:

KPMG. 2013. ASEAN Tax Guide. KPMG International. Dapat diakses di http://www.kpmg.com/Global/en/IssuesAndInsights /ArticlesPublications/Documents/asean-tax-guide-v2.pdf

Budi Sulistyo. Pajak Bersiap Hadapi Kawasan Bebas ASEAN . Dapat diakses di http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Pajak %20Bersiap%20Hadapi%20Kawasan%20Bebas%20ASEAN.pdf

Suska dan Yuventus Effendi. 2011. Tax Harmonization ASEAN Melalui ASEAN Tax Forum: Belajar dari Tax Harmonization Uni Eropa. Dapat diakses di http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Tax%20Harmonization%20ASEAN%20Melalui%20ASEAN%20Tax %20Forum_Belajar%20dari%20Uni%20Eropa_Suska%20dan%20Yuventus.pdf

Darussalam dan B. Bawono Kristiaji. 2015. Telaah Konstruktif Debt to Equity Ratio di Indonesia. Danny Darussalam Tax Center: International Taxation Series.

Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014. Rencana Aksi Base Erosion Profit Shifting dan Dampaknya Terhadap Peraturan Pajak di Indonesia. Working Paper. Danny Darussalam Tax Center: International Taxation Series.

Thiess Buettner, et all. 2007. The Impact of Thin-Capitalization Rules on Multinationals’ Financing and Investment Decision. University of Munich and IFO Institute.

Andreas Haufler dan Marco Runkel. 2011. Firms’ Financial Choices and Thin Capitalization Rules Under Corporate Tax Competition. European Tax Policy Forum: London.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Insentif Thin Capitalization Rule Kawasan