Masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Dengan demikian, proses menemukan solusi atas setiap permasalahan yang dihadapi merupakan sebuah keniscayaan. Dalam upaya merumuskan solusi yang efektif, sebuah premis dapat digunakan sebagai pedoman: “Setiap solusi memiliki kelebihan dan kelemahan”.
Di dalam perpajakan, tingkat kepatuhan merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh otoritas pajak di seluruh dunia. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai kemauan Wajib Pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan di suatu negara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan pajak yang rendah berarti semakin banyak Wajib Pajak yang tidak taat pada regulasi perpajakan. Di Indonesia sendiri, tingkat kepatuhan pajak masih belum menunjukkan angka yang menggembirakan dimana pada tahun 2015 hanya sekitar 60,27% Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
Studi mengenai kepatuhan pajak, baik secara teoritis dan empiris telah banyak dilakukan. Secara garis besar, upaya-upaya dalam meningkatkan kepatuhan pajak dapat ditempuh melalui kekuasaan (power) dan kepercayaan (trust). Lebih lanjut, Slippery Slope Framework menggambarkan bahwa kepatuhan dibangun oleh dua faktor utama, yaitu power of authorities dan trust in authorities.
Penggunaan faktor kekuasaan (power) antara lain melalui law enforcement memang merupakan cara cepat dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Wajib Pajak cenderung tidak patuh apabila keuntungan yang mereka peroleh dari menggelapkan pajak lebih besar sehingga penegakan hukum yang paripurna akan mendorong tingkat kepatuhan. Namun di sisi lain, keberhasilan law enforcement membutuhkan cost yang begitu besar antara lain sumber daya manusia, sistem teknologi dan informasi, serta sinergitas dengan lembaga penegak hukum. Ketimpangan jumlah petugas pajak dengan Wajib Pajak dan sistem teknologi dan informasi serta koordinasi antar lembaga penegak hukum yang belum matang di Indonesia menjadikan hal ini tidak efisien untuk direalisasikan. Selain itu, pola yang lebih mengedepankan pendekatan “Cops and Robbers” cenderung akan mendorong Wajib Pajak untuk bersikap tidak patuh.
Sekarang pendekatan faktor trust dalam meningkatkan kepatuhan pajak menjadi lebih masuk akal untuk diterapkan. Individu cenderung akan tetap membayar pajak meskipun tidak ada sanksi atas ketidakpatuhan. Kepatuhan dilandasi oleh tax morale yang bersumber dari kepercayaan Wajib Pajak atas otoritas pajak dan pengelolaan pajak yang mereka bayarkan dalam bentuk penyediaan barang publik. Namun demikian, kepatuhan berdasarkan kepercayaan bukan berarti tanpa kelemahan. Berorientasi semata-mata pada kepercayaan tidak dapat menjamin kesinambungan tingkat kepatuhan daalam jangka panjang karena cenderung akan terjebak pada confidence climate, yaitu kondisi dimana adanya suatu kekuatan enforcement dari otoritas pajak justru tidak kompatibel (tidak serasi) dengan kepercayaan yang sudah menjadi komitmen.
Dengan menggunakan dialektika, kita dapat mensintesis solusi terbaik dalam meningkatkan kepatuhan pajak dengan melandaskan pada kelebihan dan kelemahan yang ditawarkan oleh masing-masing solusi. Kebijakan perpajakan seharusnya dapat menciptakan terwujudnya sinergitas antara power dan trust—dan bukan memilih salah satu—dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak.
Trust disini mengacu pada pada suatu kepercayaan yang berangkat dari pemikiran rasional (reason-based trust) sehingga penerapan Good Corporate Governance (GCG) secara paripurna menjadi sebuah keharusan. Pelayanan yang baik, keterbukaan, serta penyediaan barang publik yang memadai meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak sehingga meningkatkan voluntary compliance serta dianggap sebagai solusi paling efisien dalam meningkatkan angka kepatuhan. Sedangkan power yang dimaksud bukanlah kekuasaan yang bersifat koersi, namun lebih kepada legitimate power yang bersifat tegas, proporsional, dan adil.
Referensi:
James Andreoni, Brian Erard, dan Jonathan Feinstein. Tax Compliance. Journal of Economic Literature Vol. 36 No. 2.
Dirjen Pajak: Tax Ratio Indonesia Masih Rendah. Dapat diakses pada http://kemenkeu.go.id/Berita/dirjen-pajak-tax-ratio-indonesia-masih-rendah
Erich Kirchler, Erik Hoelzl, dan Ingrid Wahl. ”Enforced versus Voluntary Tax Compliance: The “Slippery Slope” Framework”. Journal of Economic Psychology 29 (2008) 210-225.
B. Bawono Kristiaji, Toni Febriyanto, dan Yanuar F. Abiyunus. “Memahami Ke(tidak)patuhan Pajak”. Insideheadline.
Michael G. Alingham dan Agnar Sandmo. “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”. Journal of Public Economics.
James Alm, Gary H. McClelland, dan William D. Schulze. “Why do People Pay Taxes?”. Journal of Public Economics 48 (1992) 21-38. North-Holland.