Pelaksanaan otonomi daerah yang berlangsung semenjak tahun 1999 menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan (Partnership) terhadap sepuluh daerah otonom baru pada tahun 2014, hanya dua dari sepuluh daerah yang diteliti yang mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan mendapatkan nilai di atas lima atau di atas rata-rata nasional.
Beberapa tahun belakangan, kabar mengenai pembentukan otoritas pajak yang otonom dan mandiri semakin kencang berhembus. Kabar ini semakin mengemuka tatkala realisasi penerimaan pajak yang terus meleset sementara target terus meningkat setiap tahun. Banyak pihak berpendapat bahwa salah satu penyebab utama kegagalan otoritas pajak memenuhi target yang telah ditetapkan adalah karena kedudukan otoritas pajak yang begitu terikat dan tidak fleksbel atau luwes dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dewasa ini, otoritas pajak di Indonesia masih merupakan unit eselon satu di bawah Kementerian Keuangan. Dengan demikian, sebagai unit eselon satu ruang gerak otoritas pajak menjadi lebih terbatas dan arah kebijakannya harus sesuai dengan arahan menteri keuangan. Selain itu dalam tata kelola organisasi, otoritas pajak juga harus mematuhi berbagai macam regulasi terkait anggaran dan SDM yang begitu ketat sebagaimana badan publik lainnya. Oleh karena itu, sebagian pihak meyakini bahwa otoritas pajak yang otonom dan mandiri merupakan jawaban dari seluruh permasalahan.
Namun, pembentukan otoritas pajak yang mandiri bukanlah satu-satunya jalan keluar dalam meningkatkan kinerja otoritas pajak—dalam hal ini tercapainya target penerimaan pajak. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi pernyataan tersebut.
Pertama, terwujudnya otoritas pajak yang efektif dan efisien tidak serta merta harus diwujudkan dengan membentuk otoritas pajak yang mandiri dan otonom. Otonomi otoritas pajak bukanlah jaminan bahwa target penerimaan pajak akan tercapai. Meskipun terdapat beberapa contoh negara yang berhasil menerapkan otoritas pajak yang otonom, terdapat pula negara-negara dengan kedudukan otoritas pajak yang masih di bawah Kementerian Keuangan yang juga tergolong berhasil menjalankan tugasnya.
Kedua, di tahun 2013 OECD melansir survei yang membedakan kewenangan yang dimiliki oleh model otoritas pajak yang otonom dan berupa direktorat di bawah Kementerian Keuangan. Sebagian besar perbedaan kewenangan menyangkut permasalahan anggaran dan SDM, yang mana bisa diselesaikan dengan tanpa mengubah status otoritas pajak menjadi badan otonom, misalnya mengeluarkan regulasi khusus bagi otoritas pajak terkait pengaturan anggaran dan SDM.
Ketiga, otonomi otoritas pajak tidak hanya memberikan manfaat bagi keberhasilan administrasi perpajakan di suatu negara. Otoritas pajak yang otonom juga menghasilkan dampak negatif. Implikasi buruk yang dapat muncul antara lain berupa (1) membuat otoritas pajak menjadi terisolasi dan kurang efektif, (2) menciptakan konflik inheren dengan Kementerian Keuangan, (3) menciptakan konflik dengan lembaga sektor publik lain dan persaingan, (4) lebih menekankan pada pemungutan pajak daripada reformasi administrasi yang luas seperti pengeluaran anggaran publik dan sistem keuangan manajemen yang lebih luas, (5) menganggu perumusan kebijakan pajak, yang merupakan tanggung jawab mendasar dari Kementerian Keuangan dan lembaga legislatif, (6) menciptakan badan super, yang jika tidak didukung dengan pemimpin yang bersih, kuat dan mekanisme akuntabiltas yang bagus, dapat menjadi lembaga yang menyalahgunakan kekuasaan perpajakan, dan (7) membentuk organisasi yang tidak perlu karena sebenarnya sudah cukup di bawah Kementerian Keuangan.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembentukan otoritas pajak yang otonom dan mandiri bukanlah sesuatu yang urgen. Terutama sekali karena permasalahan terkait anggaran dan SDM yang selama ini disuarakan sebenarnya dapat diselesaikan dengan penerbitan regulasi-regulasi khusus tanpa mengubah status otoritas pajak. Justru permasalahan terbesar yang dihadapi oleh otoritas pajak di Indonesia yaitu terkait ketersediaan data serta efektifitas penegakan hukum. Pembentukan otoritas pajak yang otonom tanpa menyelesaikan masalah tersebut adalah perbuatan yang sia-sia. Jangan sampai karena keinginan segelintir pihak dan euforia berlebih mengakibatkan pembentukan otoritas pajak yang otonom bernasib sama dengan delapan dari sepuluh daerah otonom baru yang gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Referensi:
Hanya 2 dari 10 Daerah Otonomi Baru yang Berhasil. Dapat diakses di http://nasional.kontan.co.id/news/hanya-2-dari-10-daerah-otonomi-baru-yang-berhasil
OECD Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies. Paris: OECD Publishing
Arthur Mann. 2004. Are Semi-Autonomous Revenue Authorities The Answer to Tax Administration Problems in Developing Countries? A Practical Guide.