“There are no facts, only interpretations” – Friederich Nietzsche
Ungkapan tersebut merupakan intisari dari aliran filsafat perspektivisme yang dikembangkan sendiri oleh Nietzsche. Secara terminologis, perspektivisme mengajarkan bahwa setiap pengetahuan pada hakikatnya hanyalah suatu interpretasi belaka yang bergantung pada keadaan tempat berdirinya seseorang terhadap objek yang diketahuinya. Dengan demikian, tidak ada kebenaran yang bernilai absolut.
Kita akan mencoba menggunakan premis tersebut sebagai landasan dalam menentukan pilihan yang terbaik dari objek yang telah ditentukan : (1) perusahaan yang melakukan aktivitas CSR dan juga melakukan tax aggressiveness atau (2) perusahaan yang tidak melakukan aktivitas CSR maupun tax aggressiveness. Pilihan mana yang kita anggap merupakan pilihan terbaik sangat bergantung dari bagaimana interpretasi kita memandang objek—perusahaan.
Apabila kita memposisikan diri sebagai pemegang saham, pilihan mana yang menjadi pilihan terbaik haruslah selaras dengan tujuan utama pemegang saham yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Dengan kondisi lain diasumsikan tetap, maksimalisasi nilai perusahaan akan dapat dicapai ketika tidak ada biaya, baik untuk CSR maupun pajak yang harus dikeluarkan, ataupun apabila harus dikeluarkan dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dalam realitasnya, ketika kondisi tersebut sulit terpenuhi pemegang saham akan lebih memilih mana yang akan memberikan benefit lebih besar dibandingkan dengan cost yang dikeluarkan.
Sebaliknya kita akan menemukan pilihan yang berbeda apabila kita menilai perusahaan dari sudut pandang masyarakat. Alih-alih meminimalisasi atau bahkan menihilkan biaya CSR dan pajak, kita tentu lebih mengharapkan perusahaan untuk lebih memaksimalkan CSR dan pajak sebagai wujud sumbangsih perusahaan kepada lingkungan dimana perusahaan berada. CSR dan pajak yang meningkat berarti semakin banyak benefit yang akan dirasakan masyarakat atas keberadaan perusahaan.
Permasalahan tentang pilihan mana yang merupakan pilihan terbaik yang harus dipilih nampaknya menjadi semakin kabur dan tidak memiliki kepastian apabila menyandarkan penilaian dari berbagai sudut pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah salah karena ilmu sosial bukan ilmu pasti yang dapat menilai dan memprediksi sebuah jawaban dengan begitu akurat dan presisi. Namun bukan berarti pula kita dapat berargumen secara asal-asalan dengan bersembunyi dari keterbatasan-keterbatasan yang ada (exist).
Atas dasar tersebut, dalam menilai pilihan yang terbaik antara (1) perusahaan yang melakukan aktivitas CSR dan juga melakukan tax aggressiveness atau (2) perusahaan yang tidak melakukan aktivitas CSR maupun tax aggressiveness, kita sepatutnya memandang permasalahan secara komprehensif dan holistik. Kita harus berada di luar lingkaran dan menanggalkan segala kepentingan yang dapat mengaburkan penilaian kita. Hanya dengan cara inilah kita dapat memberikan penilaian yang independen dan objektif, meskipun bukanlah penilaian yang absolut benar namun logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pertama, kita patut menyadari bahwa perusahaan adalah entitas yang berada di dunia nyata dan harus berkompetisi dalam lingkungan yang kompetitif dan tentu bersinggungan dengan individu atau entitas lain. Berangkat dari konsep tersebut, perusahaan akan berusaha membangun sebuah legitimasi dimana nilai-nilai perusahaan diselaraskan dengan nilai-nilai yang dianut oleh sistem sosial masyarakat secara keseluruhan. Segala kesenjangan atau disparitas nilai yang terjadi merupakan ancaman dan berdampak buruk bagi kelangsungan operasi perusahaan.
Kedua, pajak merupakan sumber utama pendanaan pemerintah dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan serta penyediaan barang-barang publik. Dengan demikian, pajak memegang peran penting dalam sistem sosial kemasyarakatan. Masyarakat tentu berharap perusahaan melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan regulasi yang berlaku. Meskipun perusahaan dapat melakukan upaya penghindaran pajak secara legal, namun publik tetap menjustifikasi bahwa segala bentuk tax aggresiveness merupakan tindakan yang social irresponsible dan illegitimate.
Terakhir, CSR merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri , komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Dalam praktiknya , bentuk CSR disesuaikan dengan rencana dan strategi perusahaan namun tetap bertujuan memaksimalkan nilai sosial masyarakat. CSR dapat dianggap sebagai upaya melegitimasi perusahaan sehingga setiap pelanggaran dapat dianggap pula sebagai tindakan yang social irresponsible dan illegitimate.
Setelah memahami karakteristik dari hubungan perusahaan-masyarakat, pajak, dan CSR, tentu kita dapat berargumen bahwa pilihan terbaik adalah ketika perusahaan secara bersama-sama menjalankan kewajiban pajak dan CSR sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun adanya trade off memaksa kita untuk memilih antara (1) perusahaan yang melakukan aktivitas CSR dan juga melakukan tax aggressiveness atau (2) perusahaan yang tidak melakukan aktivitas CSR maupun tax aggressiveness. Pilihan terbaik yang dapat kita ambil tentu merupakan pilihan yang memiliki benefit yang lebih besar dibandingkan dengan cost yang harus dikeluarkan.
Tax aggressiveness, baik berupa tax avoidance maupun tax evasion dapat dipandang merupakan tindakan yang social irresponsible dan illegitimate. Hal ini dikarenakan perusahaan dianggap tidak berkontribusi atas jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah untuk mendanai program-program pemerintah dan penyediaan barang-barang publik. Ketidaksesuaian ini membuat keseimbangan hubungan sosial perusahaan-masyarakat terganggu dan berimplikasi negatif tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada perusahaan. Atas dasar tersebut, sudah sangat jelas bahwa pilihan (2) jauh lebih relevan dan logis untuk dipilih.
Selanjutnya kita beranjak ke permasalahan CSR. Sama seperti pajak, CSR juga memegang peranan penting dalam hubungan perusahaan-masyarakat sehingga pengingkaran atas kewajiban CSR dapat dipandang pula sebagai tindakan yang social irresponsible dan illegitimate. Lalu, apakah ini berarti pilihan (1) lebih baik daripada pilihan (2)? Kita tidak dapat dengan segera menyimpulkan demikian dikarenakan beberapa alasan.
Alasan pertama adalah peraturan terkait CSR. Bebeda dengan ketentuan perpajakan, CSR hanya diwajibkan bagi perusahaan-perusahaan tertentu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan antara lain perusahaan yang bergerak/berkaitan dengan SDA, Migas, Penanaman Modal, dan BUMN. Tidak adanya program CSR yang dijalankan tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa perusahaan tidak menerapkan good corporate governance dan melakukan tindakan yang social irresponsible dan illegitimate.
Alasan kedua yaitu adanya dual motives dalam pelaksanaan CSR, yaitu “good” CSR yang benar-benar ditujukan untuk meningkatkan nilai masyarakat dan “selfish” CSR yang dilakukan demi popularitas semata. Dalam hal ini, skeptisme dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan CSR disalahgunakan untuk popularitas dan menutupi perbuatan buruk yang dilakukan perusahaan seperti tax aggressiveness. Perusahaan yang terlibat tax aggressiveness dalam praktiknya juga melakukan program CSR meskipun komitmen pelaksanaan program tersebut jauh lebih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan konsep legitimate theory, karena perusahaan yang melakukan tax aggressiveness cenderung akan menyediakan informasi CSR yang lebih komprehensif dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan tax aggressiveness.
Beberapa penelitian menghasilkan konklusi bahwa perusahaan yang aktif terlibat dalam program CSR cenderung tidak terlibat dalam tax aggressiveness. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan pijakan utama dikarenakan keterbatasan dalam penelitian tersebut yang hanya mengambil sampel dari perusahaan yang terdaftar di bursa Australia dan Amerika Serikat. Munculnya kasus Asian Agri dapat menjadi contoh bagaimana perusahaan yang aktif dalam program CSR hingga memperoleh penghargaan Indonesia CSR Awards justru terlibat dalam tax aggresiveness.
Alasan terakhir yaitu biaya CSR merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. Dengan demikian, terdapat ruang bahwa CSR justru dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari tax planning perusahaan dalam rangka meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.
Berdasarkan argumen-argumen yang telah dikemukakan, kita dapat menarik konklusi bahwa pilihan (2) perusahaan yang tidak melakukan aktivitas CSR maupun tax aggressiveness jauh lebih baik dibandingkan dengan pilihan (1) perusahaan yang melakukan aktivitas CSR dan juga melakukan tax aggressiveness. Meskipun dibangun di atas pondasi argumen yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan, tetap saja konklusi tersebut tidak mutlak benar. Pendekatan dan perspektif yang berbeda dalam menilai permasalahan akan menghasilkan konklusi yang berbeda pula. “Semua hanya interpretasi”, kata Nietzsche.
Referensi:
Friedrich Wilhelm Nietzsche. www.rhapsodia-inside.blogspot.com. Diakses 1 Mei 2016
Roman Lanis dan Grant Richardson. 2012. Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: An Empirical Analysis. J. Account. Public Policy 31 (2012) 86-108
Roman Lanis dan Grant Richardson. 2013. Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: A Test of Legitimacy Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol 26 No 1 pp 75-100
Roman Lanis dan Grant Richardson. 2015. Is Corporate Social Responsibility Performance Associated with Tax Avoidance? Journal Business Ethics 127:439-457
Lutz Preuss. 2010. Tax Avoidance and Corporate Social Responsibility: You Can’t Do Both or Can You? International Journal of Business Society Vol 10 Iss 4 pp 365-374
Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 Tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Sosial, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto